Senin, 20 Agustus 2012

Absurd

Bagi seorang yang absurd berarti ia mengamini segala bentuk kegiatannya dengan penuh rasa tanggungjawab dan cinta.

Ada perbedaan yang sangat mendasar antara manusia yang absurd

(1) dengan manusia yang menyadari absurditasnya

(2). Seorang Don Yuan, seniman atau petualang adalah manusia-manusia yang absurd. Mereka bertindak menurut prinsip-prinsip absurditas kehidupannya. Manusia yang menyadari akan absurditasnya atau absurditas kehidupan ini dapat menyerah dan menjadi putus asa, tetapi dapat juga menjadi “pemberontak”. Dan pilihan yang kedualah yang menjadi pilihan Albert Camus. Bagi Camus menjadi pemberontak jauh lebih baik ketimbang menjadi seekor kerbau yang dicocok hidungnya, ia hanya menerima dan mengikuti ke mana sesuatu di luar diri membawanya pergi. Memang pekerjaan sia-sia. Namun, dalam kesia-sian itulah nantinya kebermaknaan lahir. Jadi Camus meskipun tidak mengajarkan moral, tetapi ia tetap peduli pada permasalahan moral.

Seorang Absurd atau mengalami perasaan absurd berarti ia melihat dan mengalami kondisi zamannya yang dianggap “absurd”

(3). Dalam mitos Sisifus misalnya, yang dijadikan oleh Camus sebagai sosok yang absurd. Ketika para dewa menghukum Sisifus untuk terus menerus berusaha, menggelindingkan dan mendorong batu raksasa menuju ke puncak gunung, berulang-ulang tanpa henti. Berdasar pada mitos Sisipus, Camus melihat hal semacam itu termasuk dalam keadaan yang absurd.

Hanya ada satu moral yang bisa diakui oleh manusia absurd, yaitu moral yang tak terpisahkan dari Tuhan: moral untuk diri sendiri. Tapi justru ia hidup diluar garis Tuhan. Absurditas hanya memberi kesamaan nilai kepada akibat-akibat dari tindakannya. Sebagaimana umumnya kaum nihilis yang tidak mengakui transendensi, Camus pun mencari jalannya sendiri.

Camus yang mempunyai pandangan bahwa tidak perlunya suatu masa depan. Bukan karena gagasan masa depan itu sesuatu yang jelek, tetapi karena masa depan itu selalu merupakan absurditas. Masa depan itu tidak pernah bisa dipahami, Camus amat konsekuen dengan pandangannya bahwa seorang tokoh yang absurd tidak bisa berbuat selain menggeluti absurditas yang dihadapinya saat ini-disini dan sekarang. Masa depan hanyalah suatu probabilitas.

Moralitas absurd dibangun atas dasar gagasan bahwa suatu tindakan memiliki konsekuensi yang mensahkan atau menghapuskannya. Semua ini hanya bisa dilakukan dengan penuh kesungguhan. Artinya bagi seorang yang absurd berarti ia mengamini segala bentuk kegiatannya dengan penuh rasa tanggungjawab dan cinta.

Absurditas ini dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk, misalnya dengan memandang bahwa dunia ini indah, tetapi hidup manusia itu hanya bersifat sementara. Yang absurd adalah konfrontasi antara keadaan tak rasional dan hasrat yang menggebu -nafsu.

Ketika Jaspers mengungkapkan bahwa tidak mungkin melihat dunia sebagai suatu keutuhan. Ia berkata, “keterbatasan ini membawa saya kepada diri saya sendiri, ke tempat di mana saya tak lagi mundur ke balik sudut pandang obyektif yang hanya saya kemukakan, di mana saya sendiri maupun kehadiran orang lain tak dapat menjadi sekadar obyek bagi saya”. Menurut anggapan Camus, ditengah-tengah kondisi manusia yang semerawut ini, tak ada arti untuk hidup.

Hidup tak mempunyai makna yang mutlak. Dalam dendam irrasional manusia memimpikan untuk persatuan, untuk kemutlakan, untuk keterbatasan perintah dan arti untuk “bukan saya” dari dunia. Tidak seperti keberadaan dalam kesunyian, di dunia yang berbeda. Bagi manusia absurd, segala utopi -termasuk utopi Marxis-ditolak, sebab dengan demikian keadilanpun akan ditunda dan kekerasan diterima begitu saja. Satu-satunya cara yang rasional adalah dengan melakukan pemberontakan. Demikian gagasan pemberontakan Camus, yang bisa ditemukan dalam Le mythe de Sisype dan dalam novelnya La peste.

Di antara kerinduan sebuah arti dan keabadian dan kondisi aktual dunia dimana jurang tak akan pernah bisa dipenuhi. Konfrontasi irrasional, antara hati manusia dan dunia yang berbeda membawa faham absurditas. Karena absurditas bukan hanya berada dalam diri manusia atau dunia, tapi di dalam kehadiran mereka bersama.

Manusia harus menyadari adanya perasaan absurd yang bisa terjadi kapan saja. Orang yang absurd harus menuntut hidup sendiri dengan apa yang diketahui dan membawa dalam ketidakadaan yang tidak yakin. Artinya bahwa, segala sesuatu yang manusia ketahuai adalah keberadaan manusia itu sendiri.

Apakah ini berarti sebuah sikap pesimistis yang beranggapan bahwa hidup ini sia-sia? Dapatkah bunuh diri menjadi legitimasi yang logis sebagai jalan keluar dari ketidakberartian hidup? “Tidak”. “Tidak” jawab Camus. Walaupun absurditas menghapus semua kesempatan dari kebebasan abadi itu artinya menambahkan kebebasan bagi manusia dalam bertindak. Bunuh diri berarti pengakuan si pelaku bahwa ia telah terkalahkan oleh kehidupan atau bahwa ia tidak mengerti kehidupan.

Meskipun dunia ini absurd, kita dapat menemukan nilai dalam hidup ini. Nilai yang berada dalam kebebasan kita, keinginan dan pemberontakan. Seperti yang digambarkan oleh Camus pada sosok Don Yuan. Sosok yang dikenal dari Don Yuan adalah seorang yang suka mengoleksi perempuan-perempuan cantik. Pindah dari perempuan satu keperempuan yang lain. Bagi Camus, Don Yuan tidak bermaksud “mengoleksi” wanita. Ia menguras habis jumlah itu sendiri, dan bersama mereka melahap seluruh kesempatan hidup. Karena mengoleksi berarti mampu menghayati masa lalu. Namun ia menolak penyesalan, yakni bentuk lain dari harapan. Karena Don Yuan adalah sosok manusia absurd yang tidak memisahkan diri dari waktu. Tetapi yang paling penting di sini adalah “penciptaan”. Karena Don Yuan telah menemukan suatu cara baru untuk meng-“ada” yang setidak-tidaknya membebaskannya, dan juga orang-orang yang mendekatinya.

Dalam mitos Sisifus, manusia absurd berarti menentang dirinya untuk sesuatu hal yang dianggapnya masuk akal, dimana di dunia ini manusia harus mencari dan memikul kebenaran yang digariskan tuhan; dia percaya bahwa kebenaran ditemukan oleh keinginan intensitas subjektif ; dia mementingkan bahwa individu selalu bebas dan diliputi pilihan; dia mengenalkan bahwa manusia ada di dunia dan diceritakan secara alamiah oleh dunia; dia mengetahui segalanya dengan arti kematian, hal itu dihindarkan dan menentukan. Keabsurdan adalah pemberontakan terhadap hari esok dan seperti datang ke terminal pada saat penampakkan.

Manusia absurd sadar akan kesedihannya; itu adalah cemoohannya kepada tuhan, kebencian akan kematian, dan keinginan untuk hidup yang memenangkan dalam akhir penggulingan batu ke puncak gunung selamanya, dan dia tidak memohon harapan atau ketidakyakinan terhadap tuhan. Dia adalah asal keabsurdan, tak ada kematian dalam akhir perjuangannya. Pengalaman absurditas merupakan pembuktian keunikan manusia dan dasar martabat dan kebebasannya.

Dalam Islam ada sebuah tema yang masih menyimpan banyak kontroversia untuk persoalan kematian, yaitu mati syahid. Mati syahid, berarti mati dalam keadaan memegang teguh aqidah Islam. Mati syahid, yang sebenarnya dipahami sebagai kematian yang menghampiri seseorang yang dalam keadaan sebelumnya ia telah mengikrarkan dua kalimat syahadat (La ilaha illallah dan Muhammad adalah Rasul Allah) dan tidak pernah berbuat riddah. Mati syahid atau mati dalam keadaan ‘disaksikan’, bisa pula dimaknai seabagai mati yang di dalamnya memuat pengakuan dari diri, masyarakat, dan Tuhan.

Term mati syahid selama ini identik dengan jihad dalam makna perang secara fisik, sebagai ekspresi terhadap luapan keyakinan seorang muslim terhadap ideologi yang diyakininya untuk menegakkan keadilan. Pemaknaan mati syahid seperti ini, mengakibatkan penyempitan dari makna yang sebenarnya. Dampak dari penyempitan pemaknaan tersebut mengakibatkan term mati syahid hanya berlaku bagi setiap muslim yang mati di medan laga.

Pemaknaan terhadap mati syahid yang hanya melulu diidentikan dengan term jihad dalam berperang, hal tersebut akan berindikasi pada, bahwa ajaran Islam lebih mengutamakan kematian yang hanya harus dihadapi secara fisik untuk mendapatkan kehidupan baru. Jika demikian, lalu bagaimana dengan seorang muslim yang masih hidup, yang kemudian mati dalam keadaan selain perang secara fisik? Belajar, mengajar misalnya, bukankah hal yang demikian itu merupakan bagian dari jihad-dalam makna yang luas?

Seorang muslim yang mati dalam keadaan jihad non fisik, seperti orang yang mati dalam keadaan belajar atau mengajar, bisa dikategorikan mati syahid, karena melihat dari substansi dari makna mati syahid itu sendiri, yang bukan melulu bagi orang yang berperang. Kemudian, mengapa orang yang mati dalam keadaan berperang mendapatkan julukan mati syahid dengan secara tegas banyak disebut-sebut dalam nash Al-Qur’an? Dalam kasus ini terlihat ada semacam kepentingan politis Islam dalam menyebarkan ajarannya. Bagaimana mungkin seorang manusia yang dalam keadaan nalar sadar, kemudian melakukan tindakan yang bodoh seperti itu.

Meskipun ada hal yang lain, yang menyebabkan kenapa ada sekelompok manusia yang rela melakukan tindakan tersebut. Yakni adanya harapan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, dari apa yang sudah ada saat ini-ganjaran masuk syurga.

Bagi nalar absurd, sebuah harapan -syurga, hanyalah utopi belaka, yang tidak mempunyai landasan pemikiran filosofis. Karena hal yang demikian itu terbentuk oleh ikatan emosional yang berasal dari luar diri. Bagi seorang absurd, ikatan emosional itu harus bermula dari dalam diri. Dengan demikian pemaknaan terhadap term jihad menjadi sangat luas, tidak hanya terhadap jihad yang ada diluar diri tetapi juga termasuk jihad dalam diri. Manusia absurd tidak hanya melakukan penolakan terhadap apa-apa yang ada di luar diri tetapi melakukkan penolakan juga terhadap apa-apa yang ada di dalam diri, yang sudah mengarah pada kemapanan. Inilah pemberontakan yang sebenar-benar pemberontakan. Pemberontakan yang membutuhkan keberanian , kehendak, dan kecerdasan.Tiga hal inilah yang menjadi dasar bagi moral absurd dalam menjadikan hidup sebagi sesuatu yang bernilai -hidup mulia.

Hidup mulia dalam konsep Islam adalah hidup dalam keadaan mu’min sekaligus muslim, dengan mengerjakan amal shaleh. Dengan kata lain, ia menjungjung tinggi nilai-nilai kehidupan untuk mendapatkan kehidupan yang baru. Hidup mulia dalam ajaran Islam, berarti melaksanakan ajaran-ajaran Allah, yang berdasar pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan kata lain hidup mulia berarti meng-iman-i sekaligus meng-amin-i apa-apa yang telah di-syari’at-kan-Nya. Untuk mencapai hidup mulia manusia harus menjaga dua jenis hubungan yang sepintas berbeda arah, yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablum minallah) dan hubungan manusia dengan manusia (hablum minannaas).

Manakala salah satu dari kedua hubungan tersebut terbengkalai baik disengaja maupun tidak, dengan demikian keseimbangan menjadi ternoda. Kedua hal tersebut sama pentingnya., namum yang terpenting adalah hubungan sesama manusia. Mengapa demikian? Hal ini serupa dengan apa yang ditampilkan dalam cerita The Patriot, di mana muncul satu pertanyaaan yang menarik, mengapa manusia dengan begitu mudah mengorbankan manusia lain hanya demi mencapai sesuatu yang menjadi keinginannya? Senangkah manusia dengan yang dilakukannya? Manusia menjadi Homo Homini Lupus, pemangsa bagi yang lainnya, yang siap memangsa siapa saja demi sesuatu yang masih kabur.

Islam pun sebenarnya mengajarkan hal ini. Tapi entah kenapa kemudian Islam seolah menjadi Godzila yang dengan ganasnya membumihanguskan manusia lain hanya demi Tuhan. Tuhan di satu sisi dianggap maha kuasa, namun di sisi lain dianggap seperti sesuatu yang idiot yang harus selalu dijaga setiap saat. Akankah kekuasaan Tuhan hilang, manakala tidak ada lagi manusia yang membelanya, yang mencintainya? Kalau jawabannyanya ‘ya’, cepat-cepatlah bunuh Tuhan yang seperti itu. Sebab ia akan menghalangi manusia mencapai hidup mulia. Kalaupun ‘tidak’, pikirkanlah manusia lain. Dari kehadiran manusia lain itulah manusia secara individu terbantu untuk mempertegas eksisitensi dirinya. Dan ini menjadi awal, dalam Islam, untuk menemukan Tuhan. Manusia harus sesegera mungkin menyadari apa yang dimaksud dengan pemberontakan, untuk kemudian mengadakan pemberontakan secara terus menerus tanpa henti. Pemberontakan menyadarkan diri dari pada kenyataan, pada realitas untuk mendukungnya dalam perjuangan terus menerus untuk kebenaran.

Pemberontakan yang bukan dimaknai penghancuran atau destruksi. Akan tetapi pemberontakan yang selalu dimaknai dekonstruksi, menghancurkan untuk kemudian membangun. Nietzsche berpesan, “musuh-musuhku adalah mereka yang ingin merusak tanpa menciptakan diri mereka sendiri”. Satu hal yang harus diingat, bahwa bangunan yang baru itu pada detik berikutnya harus segera di dekonstruksi. Melelahkan tentunya. Lebih lelah lagi menunggu detik-detik kematian tanpa melakukan apapun atau hanya dengan berdiam diri, tak ubahnya anak kecil yang diam dari tangisan setelah diberikan permen atau coklat manis. Membuat kematian yang absurd menjadi lebih tidak bermakna. Kematian menjadi sesuatu yang dinanti-nantikan, ditunggu-tunggu oleh manusia-manusia yang berani. Berani untuk hidup, berani menghadapi ke-absurd-an, berkehendak untuk menguasai segala hal termasuk dirinya, dan sangat cerdas dalam menyiasati hidup. Manusia berani yang hanya bisa tersenyum manis menatap kematian menjemputnya. Suatu kebahagiaan. Kematian absurd yang bermakna.

Dunia bukan hanya untuk didiami, melainkan untuk dihadapi dan diatasi, bukan dihilangkan. Menapaki anak tangga satu persatu tanpa pernah merasa letih dan lelah akan mengantarkan manusia pada hidup mulia. Tapi jangan kemudian menjadikannya harapan. Karena dengan melahirkan harapan, manusia sedang menggali kuburan berikutnya. Biarkan semua mengalir apa adanya. Ikuti dan lawan. Hanyut tapi tidak tenggelam. Hal seperti inilah yang diinginkan oleh Camus, agar manusia tetap setia pada dunia. Walaupun Camus, sebenarnya menolak hal-hal yang bersifat adikodrati, tetapi dia mengajarkan bagaimana cara hidup di dunia yang absurd.(by. Rosihan Fahmi. Tulisan ini merupakan review dari karya skripsinya yang berjudul “Analisis Absurditas Albert Camus Terhadap Mati Syahid Dalam Islam”.)

Sekadar Catatan

1. Kata absurd yang diambil dalam bahasa Inggris yang dalam bahasa Latin berarti absurdus. Kata latin ini terbentuk dari ab (tidak) dan surdus (dengar). Arti harfiah “tidak enak didengar”, “tuli”, “tidak berperasaan”. Kata absurd juga sering diartikan antara lain, “tidak masuk akal”, “tidak sesuai dengan akal”, atau “tidak logis”. nonsense sering diartikan dengan absurd. Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996, hlm. 9-10.

2. Absurditas merupakan pandangan filosofis yang ditawaran oleh eksistensialisme ateis. Absurditas dalam pengertian ini berarti sama dengan kemustahilan untuk mencari jawaban pada yang transenden. Camus amat mengagumi Nietzsche yang dengan lantang menyatakan “Allah sudah mati”, supaya manusia setia pada buminya sendiri. Bagi Nietzsche mencari jawaban yang transenden mengenai persoalan-persoalan manusia dan dunia ini merupakan tindakan orang malas yang hanya mau mencari sesuatu tanpa kesungguhan. Absurditas juga bisa ditafsirkan sebagai kegiatan menciptakan nilai-nilai.

3. "absurd" di sini bermakna terjadinya kekeosan atau kemapanan, yang mengakibatkan keadilan manusia sudah tidak di indahkan lagi, sehingga diperlukan sebuah pemberontakan.

1 komentar: