Baru-baru ini kemenetrian agama melalu Dirjen Diktis mencoret program
studi (prodi) filsafat Islam menjadi filsafat agama. Padahal filsafat
Islam ada dalam khazanah pemikiran Islam dan juga telah menjadi prodi di
banyak perguruan tinggi Islam. Sedangkan filsafat agama merupakan
produk dari kajian agama di Barat dan tidak ada dalam tradisi
intelektual Islam.
Di Barat sejak zaman modern diskursus agama
berpindah dari tangan teolog ke tangan para filosof. Pernyataan
theology was subservient to philosophy atau under the tutelage of
philosophy adalah realitas yang tidak disesali. Artinya teologi menjadi
bulan-bulanan para filosof. Untuk sekedar menyebut beberapa nama,
Sartre, Heidegger, Jung, Ludwig Feurbach, William James, Nietzsche, Kant
dan lain-lain, adalah filosof-filosof yang bicara soal agama. Padahal
mereka tidak punya otoritas untuk bicara teologi.
Para pakar
sosiologi, psikologi, antropologi dll pun ikut-ikutan membawa agama ke
ranah disiplin mereka. Para sosiolog menggunakan teori evolusi Charles
Darwin (1809-1882) untuk menjustifikasi adanya perubahan dalam agama.
Herbert Spencer (1820-1904) juga mengikuti. Friedrich Max Muller
(1794-1827), Emile Durkheim (1858-1917), Rudolf Otto (1869-1937) dan
lain-lain mengaitkan agama dengan realitas sosial.
Akhirnya, wacana keagamaan mereka itu tidak lagi bisa disebut
teologi, mereka lalu menciptakan apa yang mereka sebut philosophy of
religion. Filsafat Agama adalah suatu disiplin ilmu yang metode dan
basis teorinya adalah filsafat Barat. Obyeknya adalah semua agama. Maka
ketika filsafat membahas agama-agama itu, worldview Barat berada pada
posisi bird-eye. Doktrin filsafat berada di atas doktrin agama-agama. Di
sini pembahasan agama berada pada zone bebas agama tapi tidak bebas
dari worldview Barat.
Di era postmodern disiplin ilmu ini kemudian
dikembangkan menjadi Filsafat Agama Lintas Kultural (Cross-cultural
philosophy of religion). Ini berarti bahwa obyek kajian filsafat agama
diperluas dari sekedar agama yang ada dalam kultur Barat menjadi
agama-agama dan kepercayaan yang berasal dari kultur lain. Metode dan
cara pandangnya tetap pemikiran filsafat, sosiologi dan antropologi
Barat. Agama hanya dianggap sebagai produk dari kreatifitas manusia dan
akan terus berubah sebagaimana makhluk hidup (living organism). Namanya
pun diubah menjadi sekedar penumpukan tradisi (cummulative tradition).
Namun,
menurut Thomas Dean, benih-benih disiplin ilmu filsafat agama telah ada
sejak tahun 1950an, ia berbuah pada tahun 1960-an, membesar pada tahun
1970-an dan menjadi buah masak pada tahun 1980-an. Benihnya adalah buku
filsafat agama Ninian Smart (1958) Reason and Faith. Diikuti oleh karya
Wilfred Cantwell Smith The Meaning and End of Religion (1960), yang
membahas pemahaman agama lintas kultural dan kehidupan keagamaan sebagai
sebuah dynamic historical continuum, dan bukan merupakan sistim
tertutup. Periode pembesaran, ditandai oleh penerbitan essay analitis
William Christian, Opposition of Religious Doctrines (1972).
Ditambah
lagi ketika karya “kroyokan” para filosof dan pakar sejarah agama yang
berjudul Truth and Dialogue in World Religions: Conflicting Truth-Claim
(1974) dan yang disunting John Hick terbit. Buah itu menjadi semakin
besar ketika Raimundo Panikkar menerbitkan bukunya, The Intrareligious
Dialogue (1978) dan Hick sendiri menulis buku Philosophy of Religion.
Sebagai titik kulminasi dari wacana ini adalah terbitnya karya Wilfred
Smith yang berjudul Towards World Teology, dan karya John Hick berjudul
Problems of Religious Pluralism (1985) dan Interpretation of Religion
(Gifford Lecture, 1986-87). Di dalam karyanya inilah Hick
mendeklarasikan perlunya teologi global. Jadi “buah masak” dari disiplin
filsafat agama adalah pluralisme agama. Goal getter nya adalah Smith
dan Hick.
Jika seseorang memilih menjadi sarjana program studi
filsafat agama di perguruan tinggi Islam boleh jadi ini hanya akan
menambah barisan penggugat fatwa MUI. Artinya dari prodi ini akan lahir
sarjana-sarjana pluralis yang akan percaya bahwa semua agama itu sama
benarnya dan Islam bukan yang paling benar. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar