Absurd
Bagi seorang yang absurd berarti ia mengamini segala bentuk kegiatannya dengan penuh rasa tanggungjawab dan cinta.
Ada
perbedaan yang sangat mendasar antara manusia yang absurd
(1) dengan
manusia yang menyadari absurditasnya
(2). Seorang Don Yuan, seniman atau
petualang adalah manusia-manusia yang absurd. Mereka bertindak menurut
prinsip-prinsip absurditas kehidupannya. Manusia yang menyadari akan
absurditasnya atau absurditas kehidupan ini dapat menyerah dan menjadi
putus asa, tetapi dapat juga menjadi “pemberontak”. Dan pilihan yang
kedualah yang menjadi pilihan Albert Camus. Bagi Camus menjadi
pemberontak jauh lebih baik ketimbang menjadi seekor kerbau yang dicocok
hidungnya, ia hanya menerima dan mengikuti ke mana sesuatu di luar diri
membawanya pergi. Memang pekerjaan sia-sia. Namun, dalam kesia-sian
itulah nantinya kebermaknaan lahir. Jadi Camus meskipun tidak
mengajarkan moral, tetapi ia tetap peduli pada permasalahan moral.
Seorang
Absurd atau mengalami perasaan absurd berarti ia melihat dan mengalami
kondisi zamannya yang dianggap “absurd”
(3). Dalam mitos Sisifus
misalnya, yang dijadikan oleh Camus sebagai sosok yang absurd. Ketika
para dewa menghukum Sisifus untuk terus menerus berusaha,
menggelindingkan dan mendorong batu raksasa menuju ke puncak gunung,
berulang-ulang tanpa henti. Berdasar pada mitos Sisipus, Camus melihat
hal semacam itu termasuk dalam keadaan yang absurd.
Hanya
ada satu moral yang bisa diakui oleh manusia absurd, yaitu moral yang
tak terpisahkan dari Tuhan: moral untuk diri sendiri. Tapi justru ia
hidup diluar garis Tuhan. Absurditas hanya memberi kesamaan nilai kepada
akibat-akibat dari tindakannya. Sebagaimana umumnya kaum nihilis yang
tidak mengakui transendensi, Camus pun mencari jalannya sendiri.
Camus
yang mempunyai pandangan bahwa tidak perlunya suatu masa depan. Bukan
karena gagasan masa depan itu sesuatu yang jelek, tetapi karena masa
depan itu selalu merupakan absurditas. Masa depan itu tidak pernah bisa
dipahami, Camus amat konsekuen dengan pandangannya bahwa seorang tokoh
yang absurd tidak bisa berbuat selain menggeluti absurditas yang
dihadapinya saat ini-disini dan sekarang. Masa depan hanyalah suatu
probabilitas.
Moralitas
absurd dibangun atas dasar gagasan bahwa suatu tindakan memiliki
konsekuensi yang mensahkan atau menghapuskannya. Semua ini hanya bisa
dilakukan dengan penuh kesungguhan. Artinya bagi seorang yang absurd
berarti ia mengamini segala bentuk kegiatannya dengan penuh rasa
tanggungjawab dan cinta.
Absurditas
ini dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk, misalnya dengan memandang
bahwa dunia ini indah, tetapi hidup manusia itu hanya bersifat
sementara. Yang absurd adalah konfrontasi antara keadaan tak rasional
dan hasrat yang menggebu -nafsu.
Ketika
Jaspers mengungkapkan bahwa tidak mungkin melihat dunia sebagai suatu
keutuhan. Ia berkata, “keterbatasan ini membawa saya kepada diri saya
sendiri, ke tempat di mana saya tak lagi mundur ke balik sudut pandang
obyektif yang hanya saya kemukakan, di mana saya sendiri maupun
kehadiran orang lain tak dapat menjadi sekadar obyek bagi saya”. Menurut
anggapan Camus, ditengah-tengah kondisi manusia yang semerawut ini, tak
ada arti untuk hidup.
Hidup
tak mempunyai makna yang mutlak. Dalam dendam irrasional manusia
memimpikan untuk persatuan, untuk kemutlakan, untuk keterbatasan
perintah dan arti untuk “bukan saya” dari dunia. Tidak seperti
keberadaan dalam kesunyian, di dunia yang berbeda. Bagi manusia absurd,
segala utopi -termasuk utopi Marxis-ditolak, sebab dengan demikian
keadilanpun akan ditunda dan kekerasan diterima begitu saja.
Satu-satunya cara yang rasional adalah dengan melakukan pemberontakan.
Demikian gagasan pemberontakan Camus, yang bisa ditemukan dalam Le mythe de Sisype dan dalam novelnya La peste.
Di
antara kerinduan sebuah arti dan keabadian dan kondisi aktual dunia
dimana jurang tak akan pernah bisa dipenuhi. Konfrontasi irrasional,
antara hati manusia dan dunia yang berbeda membawa faham absurditas.
Karena absurditas bukan hanya berada dalam diri manusia atau dunia, tapi
di dalam kehadiran mereka bersama.
Manusia
harus menyadari adanya perasaan absurd yang bisa terjadi kapan saja.
Orang yang absurd harus menuntut hidup sendiri dengan apa yang diketahui
dan membawa dalam ketidakadaan yang tidak yakin. Artinya bahwa, segala
sesuatu yang manusia ketahuai adalah keberadaan manusia itu sendiri.
Apakah
ini berarti sebuah sikap pesimistis yang beranggapan bahwa hidup ini
sia-sia? Dapatkah bunuh diri menjadi legitimasi yang logis sebagai jalan
keluar dari ketidakberartian hidup? “Tidak”. “Tidak” jawab Camus.
Walaupun absurditas menghapus semua kesempatan dari kebebasan abadi itu
artinya menambahkan kebebasan bagi manusia dalam bertindak. Bunuh diri
berarti pengakuan si pelaku bahwa ia telah terkalahkan oleh kehidupan
atau bahwa ia tidak mengerti kehidupan.
Meskipun
dunia ini absurd, kita dapat menemukan nilai dalam hidup ini. Nilai
yang berada dalam kebebasan kita, keinginan dan pemberontakan. Seperti
yang digambarkan oleh Camus pada sosok Don Yuan. Sosok yang dikenal dari
Don Yuan adalah seorang yang suka mengoleksi perempuan-perempuan
cantik. Pindah dari perempuan satu keperempuan yang lain. Bagi Camus,
Don Yuan tidak bermaksud “mengoleksi” wanita. Ia menguras habis jumlah
itu sendiri, dan bersama mereka melahap seluruh kesempatan hidup. Karena
mengoleksi berarti mampu menghayati masa lalu. Namun ia menolak
penyesalan, yakni bentuk lain dari harapan. Karena Don Yuan adalah sosok
manusia absurd yang tidak memisahkan diri dari waktu. Tetapi yang
paling penting di sini adalah “penciptaan”. Karena Don Yuan telah
menemukan suatu cara baru untuk meng-“ada” yang setidak-tidaknya
membebaskannya, dan juga orang-orang yang mendekatinya.
Dalam
mitos Sisifus, manusia absurd berarti menentang dirinya untuk sesuatu
hal yang dianggapnya masuk akal, dimana di dunia ini manusia harus
mencari dan memikul kebenaran yang digariskan tuhan; dia percaya bahwa
kebenaran ditemukan oleh keinginan intensitas subjektif ; dia
mementingkan bahwa individu selalu bebas dan diliputi pilihan; dia
mengenalkan bahwa manusia ada di dunia dan diceritakan secara alamiah
oleh dunia; dia mengetahui segalanya dengan arti kematian, hal itu
dihindarkan dan menentukan. Keabsurdan adalah pemberontakan terhadap
hari esok dan seperti datang ke terminal pada saat penampakkan.
Manusia
absurd sadar akan kesedihannya; itu adalah cemoohannya kepada tuhan,
kebencian akan kematian, dan keinginan untuk hidup yang memenangkan
dalam akhir penggulingan batu ke puncak gunung selamanya, dan dia tidak
memohon harapan atau ketidakyakinan terhadap tuhan. Dia adalah asal
keabsurdan, tak ada kematian dalam akhir perjuangannya. Pengalaman
absurditas merupakan pembuktian keunikan manusia dan dasar martabat dan
kebebasannya.
Dalam
Islam ada sebuah tema yang masih menyimpan banyak kontroversia untuk
persoalan kematian, yaitu mati syahid. Mati syahid, berarti mati dalam
keadaan memegang teguh aqidah Islam. Mati syahid, yang sebenarnya
dipahami sebagai kematian yang menghampiri seseorang yang dalam keadaan
sebelumnya ia telah mengikrarkan dua kalimat syahadat (La ilaha illallah
dan Muhammad adalah Rasul Allah) dan tidak pernah berbuat riddah. Mati
syahid atau mati dalam keadaan ‘disaksikan’, bisa pula dimaknai seabagai
mati yang di dalamnya memuat pengakuan dari diri, masyarakat, dan
Tuhan.
Term mati
syahid selama ini identik dengan jihad dalam makna perang secara fisik,
sebagai ekspresi terhadap luapan keyakinan seorang muslim terhadap
ideologi yang diyakininya untuk menegakkan keadilan. Pemaknaan mati
syahid seperti ini, mengakibatkan penyempitan dari makna yang
sebenarnya. Dampak dari penyempitan pemaknaan tersebut mengakibatkan
term mati syahid hanya berlaku bagi setiap muslim yang mati di medan
laga.
Pemaknaan
terhadap mati syahid yang hanya melulu diidentikan dengan term jihad
dalam berperang, hal tersebut akan berindikasi pada, bahwa ajaran Islam
lebih mengutamakan kematian yang hanya harus dihadapi secara fisik untuk
mendapatkan kehidupan baru. Jika demikian, lalu bagaimana dengan
seorang muslim yang masih hidup, yang kemudian mati dalam keadaan selain
perang secara fisik? Belajar, mengajar misalnya, bukankah hal yang
demikian itu merupakan bagian dari jihad-dalam makna yang luas?
Seorang
muslim yang mati dalam keadaan jihad non fisik, seperti orang yang mati
dalam keadaan belajar atau mengajar, bisa dikategorikan mati syahid,
karena melihat dari substansi dari makna mati syahid itu sendiri, yang
bukan melulu bagi orang yang berperang. Kemudian, mengapa orang yang
mati dalam keadaan berperang mendapatkan julukan mati syahid dengan
secara tegas banyak disebut-sebut dalam nash Al-Qur’an? Dalam kasus ini
terlihat ada semacam kepentingan politis Islam dalam menyebarkan
ajarannya. Bagaimana mungkin seorang manusia yang dalam keadaan nalar
sadar, kemudian melakukan tindakan yang bodoh seperti itu.
Meskipun
ada hal yang lain, yang menyebabkan kenapa ada sekelompok manusia yang
rela melakukan tindakan tersebut. Yakni adanya harapan untuk mendapatkan
sesuatu yang lebih baik, dari apa yang sudah ada saat ini-ganjaran
masuk syurga.
Bagi
nalar absurd, sebuah harapan -syurga, hanyalah utopi belaka, yang tidak
mempunyai landasan pemikiran filosofis. Karena hal yang demikian itu
terbentuk oleh ikatan emosional yang berasal dari luar diri. Bagi
seorang absurd, ikatan emosional itu harus bermula dari dalam diri.
Dengan demikian pemaknaan terhadap term jihad menjadi sangat luas, tidak
hanya terhadap jihad yang ada diluar diri tetapi juga termasuk jihad
dalam diri. Manusia absurd tidak hanya melakukan penolakan terhadap
apa-apa yang ada di luar diri tetapi melakukkan penolakan juga terhadap
apa-apa yang ada di dalam diri, yang sudah mengarah pada kemapanan.
Inilah pemberontakan yang sebenar-benar pemberontakan. Pemberontakan
yang membutuhkan keberanian , kehendak, dan kecerdasan.Tiga hal inilah
yang menjadi dasar bagi moral absurd dalam menjadikan hidup sebagi
sesuatu yang bernilai -hidup mulia.
Hidup
mulia dalam konsep Islam adalah hidup dalam keadaan mu’min sekaligus
muslim, dengan mengerjakan amal shaleh. Dengan kata lain, ia menjungjung
tinggi nilai-nilai kehidupan untuk mendapatkan kehidupan yang baru.
Hidup mulia dalam ajaran Islam, berarti melaksanakan ajaran-ajaran
Allah, yang berdasar pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan kata lain
hidup mulia berarti meng-iman-i sekaligus meng-amin-i apa-apa yang telah
di-syari’at-kan-Nya. Untuk mencapai hidup mulia manusia harus menjaga
dua jenis hubungan yang sepintas berbeda arah, yaitu hubungan antara
manusia dengan Tuhan (hablum minallah) dan hubungan manusia dengan
manusia (hablum minannaas).
Manakala
salah satu dari kedua hubungan tersebut terbengkalai baik disengaja
maupun tidak, dengan demikian keseimbangan menjadi ternoda. Kedua hal
tersebut sama pentingnya., namum yang terpenting adalah hubungan sesama
manusia. Mengapa demikian? Hal ini serupa dengan apa yang ditampilkan
dalam cerita The Patriot, di mana muncul satu pertanyaaan yang menarik,
mengapa manusia dengan begitu mudah mengorbankan manusia lain hanya demi
mencapai sesuatu yang menjadi keinginannya? Senangkah manusia dengan
yang dilakukannya? Manusia menjadi Homo Homini Lupus, pemangsa bagi yang lainnya, yang siap memangsa siapa saja demi sesuatu yang masih kabur.
Islam
pun sebenarnya mengajarkan hal ini. Tapi entah kenapa kemudian Islam
seolah menjadi Godzila yang dengan ganasnya membumihanguskan manusia
lain hanya demi Tuhan. Tuhan di satu sisi dianggap maha kuasa, namun di
sisi lain dianggap seperti sesuatu yang idiot yang harus selalu dijaga
setiap saat. Akankah kekuasaan Tuhan hilang, manakala tidak ada lagi
manusia yang membelanya, yang mencintainya? Kalau jawabannyanya ‘ya’,
cepat-cepatlah bunuh Tuhan yang seperti itu. Sebab ia akan menghalangi
manusia mencapai hidup mulia. Kalaupun ‘tidak’, pikirkanlah manusia
lain. Dari kehadiran manusia lain itulah manusia secara individu
terbantu untuk mempertegas eksisitensi dirinya. Dan ini menjadi awal,
dalam Islam, untuk menemukan Tuhan. Manusia harus sesegera mungkin
menyadari apa yang dimaksud dengan pemberontakan, untuk kemudian
mengadakan pemberontakan secara terus menerus tanpa henti. Pemberontakan
menyadarkan diri dari pada kenyataan, pada realitas untuk mendukungnya
dalam perjuangan terus menerus untuk kebenaran.
Pemberontakan
yang bukan dimaknai penghancuran atau destruksi. Akan tetapi
pemberontakan yang selalu dimaknai dekonstruksi, menghancurkan untuk
kemudian membangun. Nietzsche berpesan, “musuh-musuhku adalah mereka
yang ingin merusak tanpa menciptakan diri mereka sendiri”. Satu hal yang
harus diingat, bahwa bangunan yang baru itu pada detik berikutnya harus
segera di dekonstruksi. Melelahkan tentunya. Lebih lelah lagi menunggu
detik-detik kematian tanpa melakukan apapun atau hanya dengan berdiam
diri, tak ubahnya anak kecil yang diam dari tangisan setelah diberikan
permen atau coklat manis. Membuat kematian yang absurd menjadi lebih
tidak bermakna. Kematian menjadi sesuatu yang dinanti-nantikan,
ditunggu-tunggu oleh manusia-manusia yang berani. Berani untuk hidup,
berani menghadapi ke-absurd-an, berkehendak untuk menguasai segala hal
termasuk dirinya, dan sangat cerdas dalam menyiasati hidup. Manusia
berani yang hanya bisa tersenyum manis menatap kematian menjemputnya.
Suatu kebahagiaan. Kematian absurd yang bermakna.
Dunia
bukan hanya untuk didiami, melainkan untuk dihadapi dan diatasi, bukan
dihilangkan. Menapaki anak tangga satu persatu tanpa pernah merasa letih
dan lelah akan mengantarkan manusia pada hidup mulia. Tapi jangan
kemudian menjadikannya harapan. Karena dengan melahirkan harapan,
manusia sedang menggali kuburan berikutnya. Biarkan semua mengalir apa
adanya. Ikuti dan lawan. Hanyut tapi tidak tenggelam. Hal seperti inilah
yang diinginkan oleh Camus, agar manusia tetap setia pada dunia.
Walaupun Camus, sebenarnya menolak hal-hal yang bersifat adikodrati,
tetapi dia mengajarkan bagaimana cara hidup di dunia yang absurd.(by.
Rosihan Fahmi. Tulisan ini merupakan review dari karya skripsinya yang
berjudul “Analisis Absurditas Albert Camus Terhadap Mati Syahid Dalam
Islam”.)
Sekadar Catatan
1. Kata
absurd yang diambil dalam bahasa Inggris yang dalam bahasa Latin
berarti absurdus. Kata latin ini terbentuk dari ab (tidak) dan surdus
(dengar). Arti harfiah “tidak enak didengar”, “tuli”, “tidak
berperasaan”. Kata absurd juga sering diartikan antara lain, “tidak
masuk akal”, “tidak sesuai dengan akal”, atau “tidak logis”. nonsense
sering diartikan dengan absurd. Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat,
Jakarta, Gramedia, 1996, hlm. 9-10.
2. Absurditas
merupakan pandangan filosofis yang ditawaran oleh eksistensialisme
ateis. Absurditas dalam pengertian ini berarti sama dengan kemustahilan
untuk mencari jawaban pada yang transenden. Camus amat mengagumi
Nietzsche yang dengan lantang menyatakan “Allah sudah mati”, supaya
manusia setia pada buminya sendiri. Bagi Nietzsche mencari jawaban yang
transenden mengenai persoalan-persoalan manusia dan dunia ini merupakan
tindakan orang malas yang hanya mau mencari sesuatu tanpa kesungguhan.
Absurditas juga bisa ditafsirkan sebagai kegiatan menciptakan
nilai-nilai.
3. "absurd"
di sini bermakna terjadinya kekeosan atau kemapanan, yang mengakibatkan
keadilan manusia sudah tidak di indahkan lagi, sehingga diperlukan
sebuah pemberontakan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus